BOJONEGORO – Suntingan karya jurnalistik berita kok amburadul atau acakadul kalau dibaca ?! Suntinglah dengan baik, sehingga pembaca faham apa yang dikau tulis dalam berita. Tidak membingungkan pembaca. Faham ?
Sebagai seorang jurnalis atau wartawan memang benar banyak tantangan di lapangan. Mulai dari narasumber yang sulit dihubungi dan ditemui hingga intervensi serta intimidasi dari oknum yang berkepentingan.
Tak kira, banyak jurnalis atau wartawan saat ini sudah faham betul tentang UU Nomor 40 Tahun 1999 tantang Pers dan Kode Etik Wartawan (KEW). Namun demikian, ternyata juga ada oknum wartawan yang kurang memahami kode etik wartawan.
Alhasil, produk yang ditayangkan atau di unggah di media khususnya online, itu terkadang menyudutkan salah satu pihak. Namun harusnya, sebelum di unggah di medianya masing-masing, redaktur harus mengoreksi terlebih dulu.
Tetapi yang parah itu, ketika karya tulis berita itu tidak ada narasumbernya hanya berdasarkan isu atau opini masyarakat yang belum bisa dipastikan kebenarannya namun lolos dari redaktur dan tayang di medianya. Kan, aneh juga ?.
Akhirnya, karya tulis itu menjadi bola liar sebab sudah kadung dikonsumsi oleh publik. Digelindingkan kesana dan kemari layaknya bola salju, semakin lama digelindingkan akan semakin membesar. Hehehe.
Tak hanya itu, tak kira ini lucu juga. Namun, harus disikapi dengan kepala dingin. Sedingin es tah di warung kopi. Hehehe. Terkadang sesama jurnalis atau wartawan saling tertawa membaca tulisan berita seseorang.
Kenapa ? Karena saat dibaca tulisannya acakadul atau amburadul. Membingungkan. Sesama wartawan atau jurnalis saja sama-sama tertawa terbahak dan bingung. Apalagi pembaca ?. Sudah bisa dibanyakan to ?.
Kalau belum bisa membayangkan, maka saranku jangan dibayangkan. Bisa-bisa dikau pusing tujuh keliling. Hehehe. Okelah, bisa dimaklumi jika wartawan baru atau baru belajar menjadi wartawan jika tulisannya masih amburadul.
Kalau masih belajar menjadi wartawan, itu maklumlah kalau tulisannya tidak runtut dan mbulet membingungkan saat dibaca. Saat tulisan masuk dapur redaksi, diolah, lalu terbitlah berita yang tak membingungkan. Hehehe.
Yang lebih lucu lagi dan parah, ketika terbit di media online dan tulisannya mboulet membuat pembaca gagal faham. Padahal, narasumbernya jelas dan komposisi berita berimbang. Kan ya eman-eman gitu lho boss.
Sudah narasumber jelas dan tulisan beritanya berimbang, tapi saat dibaca membingungkan gara-gara kalimatnya tidak runtut. Harusnya disunting dulu lah biar tulisan beritanya runtut enak dibaca. Seenak ayam goreng kriuk. Hehehe.
Wartawan dan redaktur atau editor ini satu kesatuan. Sebelum tulisan wartawan atau jurnalis itu tayang di medai khususnya online masing-masing, tentu diolah atau diedit terlebih dulu oleh redaktur atau editor.
Harapannya, karya jurnalistik yang akan terbit di media masing-masing akan enak dibaca dan tidak mboulet dan membingungkan pembaca. Jadi, diolah atau diedit dulu oleh editor atau redaktur. Begitu.
Saat diedit oleh redaktur, pasti tulisan wartawan di lapangan akan dikonfirmasikan kembali kepada wartawan yang menulis berita. Terkait ‘narasumber dan data fakta yang ada dalam tulisan wartawan tersebut’.
Jika semua sudah terkonfirmasi dengan baik narasumber dan data tidak ada yang keliru, maka akan ditayangkan oleh redaktur di media masing-masing. Kan begitu prosesnya ?. Sehingga, karya jurnalistik terfilter dengan baik sebelum tayang.
Jadi tidak ujug-ujug tayang. Begitu tayang, tulisan tidak enak dibaca, tidak runtut, mbulet dan membingungkan khalayak. Kan tidak begitu boss. Harus diedit dulu. Biar tambah enak. Seenak mie goreng pedas level tujuh. Hahaha.
Demikian, sekian dan terimakasih sudah dibaca. Semoga enak dibaca. Seenak nasi goreng jawa. Hehehe. Oke, mari sama-sama belajar untuk menuju profesionalime dalam menulis berita. (*)
Penulis adalah kang sam, seorang wartawan junior di Bojonegoro.


Tinggalkan komentar